Ruang Laktasi sebagai Dukungan bagi Ibu Menyusui

Usai cuti melahirkan, banyak ibu baru yang merasa cemas saat hendak kembali bekerja, terutama perihal menyusui bayi. Pada hakikatnya, menyusui bukan hanya memenuhi hak bayi dalam memperoleh air susu ibu (ASI) selama enam bulan kehidupan, tetapi juga menyangkut cara pemberian, yang disarankan untuk dilakukan secara langsung dari payudara ibu ke bayi (direct breastfeeding). Bagi ibu bekerja, memerah dan menyimpan ASI selama jam kerja menjadi pilihan agar dapat memberikan ASI eksklusif bagi si kecil. Namun, kurangnya dukungan waktu dan tempat yang memadai menjadi kendala tersendiri.

“Omnibus Law” Kesehatan dan Jaminan Hak Ibu Menyusui

UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pasal 42 ayat (1) dan (2) telah menjamin pemenuhan hak bagi bayi untuk mendapat ASI hingga dua tahun, kecuali jika ada indikasi medis lain. Di samping itu, ayat (3) dan (4) juga mengatur pentingnya dukungan keluarga, pemerintah, dan masyarakat dalam menyediakan waktu dan fasilitas khusus di tempat kerja maupun umum. Namun, ketiadaan sanksi membuat aturan tersebut sekadar menjadi imbauan.

Survei Kemenkes (2016) menemukan, sebanyak 35,2 persen perusahaan di Indonesia belum menyediakan ruang laktasi bagi ibu menyusui.[1] Sebagai pembanding, survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) (2021) menyebutkan, hanya 4 dari 40 media yang disurvei memiliki ruang laktasi.[2] Dampaknya, karyawan setingkat editor maupun redaktur yang bekerja dari kantor terpaksa memerah ASI di kamar mandi. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) kini melarang aktivitas itu karena tidak higienis.[3] Sementara jurnalis yang mobilitasnya tinggi menghadapi tantangan berbeda. Sulitnya menemukan ruang laktasi yang dapat diakses umum, serta menjaga ASI yang diperah tersimpan higienis dan dingin (agar tidak mudah basi) menjadi kendala tersendiri.

Merujuk ke data BPS, Indonesia sebetulnya telah memiliki kesadaran cukup tinggi tentang pentingnya ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) terkait persentase bayi usia kurang dari enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif menunjukkan adanya peningkatan sejak 2020. Pada 2022, nilainya mencapai 72,04 persen secara nasional. Adapun di tingkat provinsi, posisi pertama diraih oleh Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan 79,69 persen, sedangkan capaian terendah diraih oleh Provinsi Gorontalo dengan 53,60 persen. Adapun Provinsi DKI Jakarta berada di bawah standar nasional dengan 67,22 persen.[4]

Sehubungan dengan itu, perlu upaya konsisten untuk meningkatkan persentase bayi usia kurang dari enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif. Sokongan keluarga, pemerintah, dan masyarakat pun dibutuhkan untuk mendukung pemerataan nilainya di semua provinsi. Salah satu ikhtiar yang dapat dilakukan adalah dengan memperbanyak jumlah ruang laktasi yang inklusif di tempat kerja dan fasilitas umum. Kepala Satuan Tugas ASI IDAI Dr. dr. Naomi Esthernita F. D., SpA (K) menyebut, tanpa dukungan memadai, sebanyak 45 persen ibu akan berhenti menyusui karena kembali bekerja di Indonesia, terlepas dari apa pun tempat kerja dan tipe pekerjaannya.[5]

UNICEF (2020) telah menerbitkan panduan tentang dukungan menyusui di tempat kerja.[6] Terdapat standar global yang perlu diperhatikan untuk keberadaaan ruang laktasi. Sejumlah kriteria utama, meliputi tersedianya ruang yang memadai dengan privasi, aksesibilitas yang baik, furnitur dan persediaan terkait, pencahayaan dan ventilasi yang cukup, serta higienis.

Aksesibilitas mencakup lokasi yang terpisah, dengan akses langsung, berlokasi jauh dari kamar kecil, tetapi dekat tempat kerja. Adapun perabot standar yang perlu tersedia mencakup tempat duduk berlengan dan sistem penyimpanan dingin. Di samping itu, furnitur tambahan dapat dihadirkan, berupa meja untuk menaruh pompa, tempat sampah dengan pedal kaki, stop kontak, jam, rak, dan cermin seluruh badan. Sementara itu, fasilitas cuci tangan, sabun cair, kertas toilet, hand sanitizer, pembersih permukaan barang-barang, dispenser, dan air minum menjadi persediaan yang wajib tersedia.

Menilik daftar tersebut, pemberi kerja akan merasa imbauan untuk menyediakan ruang laktasi ini sebagai beban. Terlebih bila proporsi antara ibu bekerja dan populasi karyawan tidak signifikan. Ketiadaan insentif dari pemerintah pun dapat mengurangi antusiasme korporasi untuk menyediakan ruang laktasi ini.

Sekalipun demikian, temuan BPS (2022) tentang tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Indonesia patut diperhitungkan. Dengan TPAK perempuan mencapai 53,41 persen,[7] tentunya citra perusahaan yang memiliki ruang laktasi akan meningkat karena dipandang peduli terhadap kesejahteraan karyawan. Di samping itu, kehadiran ruang laktasi dipercaya mampu mengurangi permohonan cuti dari ibu bekerja untuk mengunjungi dokter, maupun izin ketidakhadiran yang terkait dengan kehamilan. Hal ini pun dapat meningkatkan retensi pekerja perempuan, serta menurunkan tingkat keluar-masuk karyawan.[8]

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 2013 dapat menjadi contoh kampanye komunikasi yang tepat. Saat itu, persentase bayi usia kurang dari enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif di RRT hanya sebesar 28 persen. Saat itu, UNICEF mengampanyekan “10m2 of Love” guna mempromosikan pentingnya lingkungan kerja yang mendukung ibu bekerja untuk menyusui. Guna mendukung hal itu, UNICEF membangun portal dan aplikasi agar organisasi dapat mendaftarkan ruang laktasi berstandar internasional yang dimiliki. Tidak hanya menjadi basis informasi, taktik ini juga menciptakan pemerataan informasi terkait keberadaan ruang laktasi bagi ibu bekerja.[9]

Selain advokasi melalui media massa, kampanye masif yang juga dilakukan di media sosial. perubahan pun perlahan muncul. Hal ini didukung oleh kehadiran relawan di berbagai kota dalam mempromosikan pesan senada dan memberikan konsultasi terkait ke perusahaan dan institusi publik. Pada akhirnya, promosi ini tidak hanya mendorong penciptaan lingkungan kerja yang ramah bagi ibu bekerja untuk menyusui. Dalam jangka panjang, kampanye tersebut turut meningkatkan persentase konsumsi ASI eksklusif bagi bayi.

Di Indonesia, replikasi atas kampanye senada dapat diinisiasi oleh Kemenkes, sebagai pemilik SATUSEHAT Mobile. Adapun pada tahap awal, lokasi kampanyenya dapat menyasar kota metropolitan yang memiliki gedung tinggi, demi efisiensi. Melalui kehadiran ruang laktasi berstandar internasional yang inklusif di gedung perkantoran, maka biaya operasional pun dapat ditekan. Pemberi kerja dapat menghadirkan ruang laktasi secara kolektif atau dengan menggandeng CSR perusahaan yang relevan. Adapun jumlahnya perlu disesuaikan dengan luas bangunan maupun banyaknya lantai di gedung perkantoran tersebut.

The Skycrapper Center (2023) mencatat, di Jakarta saja, setidaknya terdapat 160 gedung tinggi.[10] Namun dalam pelaksanaannya, ibu bekerja sering kali kesulitan mengakses ruang laktasi karena terbatasnya akses, yang hanya diperuntukkan bagi pekerja perusahaan. Jika pemilik atau pengelola bangunan telah menyediakan ruang laktasi bagi umum pun, spesifikasinya terkadang tidak sesuai standar internasional. Misalnya, berbeda lantai, terletak terlalu jauh dari tempat kerja, atau bersebelahan dengan kamar mandi. Lebih buruk lagi, pengelola justru menambahkan kloset duduk, yang sebetulnya dilarang di ruang laktasi.

Dengan kehadiran ruang laktasi berstandar internasional, diharapkan dilema yang dihadapi ibu bekerja dapat sedikit teratasi. Melalui dukungan keluarga, pemerintah, dan masyarakat yang optimal, proses adaptasi ibu bekerja untuk kembali ke dunia profesional dapat berjalan dengan kendala minimal. Produktivitas ibu bekerja pun perlahan meningkat, sementara hak bayi akan konsumsi ASI eksklusif hingga enam bulan kehidupan tetap terpenuhi.

[1] www.mediaindonesia.com. 2018. 35,2% Perusahaan Belum Miliki Ruang Laktasi.

[2] www.konde.co. 2021. Survei AJI: Hanya 4 Media yang Punya Ruang Menyusui.

[3] www.republika.co.id. 2023. Dokter: Jangan Perah ASI di Toilet.

[4] www.bps.go.id. 2022. Persentase Bayi Usia Kurang Dari 6 Bulan yang Mendapatkan ASI Eksklusif Menurut Provinsi (Persen), 2020–2022.

[5] www.antaranews.com. 2023. Tidak Adanya Dukungan Jadi Penyebab Ibu Bekerja Berhenti Menyusui.

[6] www.unicef.org. 2020. Breastfeeding Support in the Workplace.

[7] www.bps.go.id. 2022. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin 2021–2022.

[8] www.unicef.org. 2020. Breastfeeding Support in the Workplace.

[9] www.chinadaily.com.cn. 2013. Campaign to Help Mom Find Breastfeeding Rooms.

[10] www.bisnis.com. 2023. Daftar 15 Kota dengan Gedung Pencakar Langit Terbanyak di Dunia, Ada Jakarta?

Penulis: Inez Hapsari

Tags:

Search

Category

Tags